Pages

Subscribe:

Labels

Dari Konco Wiking sampai Kartono

Bahasan tentang perjuangan kartini dibahas tiap tahunnya tak habis-habis, terutama di kalangan aktivis feminisme. Namun benarkah kaum feminisme dengan perjuangannya?

Sejalan dengan cita-cita perjuangan Kartini, pendidikan bagi perempuan bukanlah untuk bersaing dan menyamai laki-laki. Tapi semata-mata sebagai fungsi awal yang sesuai dengan fitrah yaitu sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya.

Ketika ide emansipasi tak lagi murni, para Kartono eh… maksudnya laki-laki pun berusaha menuntut haknya pula. Sebagai ayah, ia menuntut haknya untuk dihormati oleh istri dan anak-anaknya. Bagaimana pun ia adalah wali bagi anak perempuannya. Ijinnya mutlak diperlukan oleh istri bila akan keluar rumah. Tapi ketika hak ini semakin memudar, istri dan anak tak lagi mau mengakuinya sebagai pemimpin rumah tangga, maka wajar bila kaum pria ini juga berhak menuntut.

Sebagai suami, keberadaannya semakin tak dihargai. Posisinya sebagai qowwam alias kepala rumah tangga dihujat. Istrinya menuntut posisi sama, tak mau kalah hanya karena perbedaan jenis kelamin. Maka, muncullah fenomena paguyuban STI alias Suami Takut Istri.

Anak-anak perempuannya tak lagi mengindahkan kata-katanya. Dengan dalih demoKERAsi dan kebebasan perempuan, anak-anaknya menolak menutup aurat. Sungguh, Kartini pasti akan menangis dengan teramat nelangsa apabila beliau tahu apa yang dilakukan wanita-wanita sekarang dengan mendompleng nama besarnya. Lihatlah wanita-wanita yang berserakan di jalan-jalan dengan dandanan menor dan baju mini atas nama emansipasi. Mereka berada di hampir semua lini kehidupan dan meninggalkan kewajiban serta fitrahnya sebagai wanita.

Para wanita enggan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Karena hamil hanya merusak bentuk tubuh indah mereka. Belum lagi kewajiban memberikan ASI selama 2 tahun telah tergantikan dengan susu-susu kaleng cap Sapi. Bayi-bayi pun menjadi produk anak sapi "Plonga plongo koyo kebo!"

Fungsi ibu sebagai pendidik utama juga telah tergantikan dengan keberadaan baby sitter di rumah. Anak tumbuh besar dengan didampingi oleh orang lain yang minim susila, mulai makan sambil lari sampai ngomongin tetangga sana sini. Si kecilmiskin dekapan ibunya jauh dari ayahnya. Kehidupan dan karier di luar rumah jauh lebih menggiurkan daripada berkutat dengan anak di rumah.

Oalah.. saking Kartininya malah jadi Kartono, itulah yang terjadi pada abad ini. Bahkan sang ayah bisa diajukan ke komisi perlindungan anak dan Komnas HAM dengan tuduhan pemaksaan dan pemerkosaan hak berekspresi. Hingga taraf pindah agama alias murtad, wewenang sang ayah tak lagi berguna. UU perlindungan anak akan sigap melindungi siapa pun yang berstatus anak untuk menjadi murtad. Nah, lho? Ciloko, tenan!!

Belum lagi para pria kesepian yang semakin merana. Walah.. curhat! Mereka harus mulai mencari solusi karena ternyata gerakan feminisme radikal telah sebegitu dalam menanamkan kebencian terhadap makhluk berjenis laki-laki. Dampaknya adalah perempuan ini tak mau lagi menikah dengan laki-laki dan memilih sesama perempuan sebagai gantinya alias mempraktikkan lesbian. Na’udzubillah min dzalik.

Dari gambaran di atas, masalah sesungguhnya bukanlah pada emansipasi. Bukan pula pada kesetaraan hak. Dan nggak juga pada perjuangan pemberdayaan perempuan atau pun Kartono yang menuntut karena terzalimi oleh para Kartini.

Tak salah dengan perjuangan Kartini. Kartini memang hidup di alam penjajahan dan zaman feodalisme Jawa masih mengungkung erat. Jaman ketika perempuan masih dianggap rendah sekedar ‘konco wingking’ alias teman di belakang bagi para pria. Maksudnya perempuan itu tempatnya cuma dapur, sumur dan kasur. Walah! Perempuan nggak boleh ikut mengurusi selain ketiga hal itu. Karena urusannya cuma itu, maka nggak perlu perempuan sekolah tinggi-tinggi. Nggak ada gunanya. Toh, nanti kembalinya juga bakal ke dapur lagi.

Masalah utamanya terletak pada pemahaman dan kesadaran perempuan yang masih terjajah oleh ide Kapitalisme dengan anak turunnya bernama feminisme.

Andai Kartini tahu,Islam yang menjadi agamanya itu sudah mempunyai konsep tentang perempuan secara ideal. Betapa semua yang ia perjuangkan sudah tercantum dengan gamblang dalam kitab suci al-Quran. Mengajarkan tentang perempuan yang berpendidikan untuk mencipta generasi terdidik, generasi rabani, generasi lebih mencintai Allah dan Rosul dari pada Presidennya dan Lebih membela Islam dari pada hukum DemoKERAsinya.

Generasi selevel Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Sina, Imam Bukhari, Muslim, Abu Hanifah dan masih banyak jutaan lain ilmuwan yang mengguncang dunia dengan karya-karyanya, adalah hasil didikan dari sosok ibu yang berkualitas dan terdidik. Sosok laki-laki yang sebagian tersebut di atas adalah sosok yang sangat memuliakan perempuan.

Jadi, kalo dengan Islam rumah tangga Muslim bisa harmonis antara peran wanita dan laki-laki, antara hak dan kewajiban di tengah masyarakat, maka nggak perlu emansipasi lagi deh untuk mencapainya. Sudah saatnya kita bergerak menyadarkan masyarakat tentang hal ini. Ternyata hanya dengan Islam saja perempuan menjadi mulia tanpa harus menghiba dan menuntut pada laki-laki. Begitu juga laki-laki menjadi mulia dengan memuliakan perempuan sesuai dengan koridor Islam. Keduanya akan menjadi kekuatan yang bersinergi untuk membangun sebuah peradaban yang baik dan benar.Kita bikin para pejuang feminisme yang mengatasnamakan emansipasi gigit jari karena usahanya memporak-porandakan pemikiran dan perilaku muslimah nggak berhasil.

It’s up to you girls, Muslimah cerdas, pasti pilih Jalan Islam Bukan Feminisme. Setuju!


Sumber: Berbagai Sumber